Pesta Kota

Adila Sabiliilaika
6 min readApr 29, 2020

--

Pict by https://www.instagram.com/giovannnicassanese/

Aku terdampar pada jurang yang gelap, sementara seorang wanita menghampiriku dengan cahaya dalam gengamannya. Ia membuatku melayang — menyelamatkanku. Lalu memelukku erat dan begitu hangat. Ku dekap ia lebih lama.

Terdengar suara riuh di belakang kami, berikut dengan cahaya gemerlap warna-warni. Aku gengam tangannya seolah menuntunnya menuju kesana. Namun ia berhenti, melangkah mundur, melepas gengamanku, kemudian hilang setelah berkata

“Tolong jaga anakku dengan baik.”

Seperti biasanya aku bangun dengan mimpi yang sama setiap pagi. Aku mengutuk mimpi yang menggangguku barusan. Seharusnya Maria tidak perlu mengingatkanku karena aku pasti akan melakukannya.

Jam menunjukan pukul enam pagi dan sudah terdengar suara gaduh dari lantai atas.

Oh benar! malam ini adalah pesta kota, sebuah perayaan tahunan distrik Manao yang sudah berlangsung selama tiga tahun berturut-turut. Semua orang gembira menyambut pesta kota, tak terkecuali Samantha.

Aku berjalan keluar kamar menuju kamar Samantha. Dari pintu yang setengah terbuka, terlihat ia sedang duduk di depan cermin. Ia memalingkan wajahnya ke kanan dan kiri, dengan selang waktu lima detik pada setiap sisi lalu mengulangnya sebanyak dua kali. Saban hari ia lakukan aktivitas itu — setidaknya sebelum ia memulai kelas onlinenya pada pukul delapan pagi. Entah apa tujuannya, mungkin saja ia berharap suatu pagi ia bangun menemukan hidungnya sudah lebih mancung atau frackles di wajahnya berkurang sedikit.

Samantha suka menyapukan cairan warna-warni ke wajahnya, kemudian menutupnya dengan bedak yang dua tone lebih cerah dari warna kulitnya. Entah kenapa aku tak pernah suka topeng itu, tapi ia bilang semua perempuan menggunakannya.

Mungkin semua perempuan di distrik ini seperti Samantha, tidak suka dengan wajahnya.

“Paman Bornie, sejak kapan kau di sana?” tanyanya, menghampiriku lalu memberikan sebuah setelan berwarna hitam yang ia ambil terlebih dahulu dari lemarinya.

“Beberapa detik yang lalu,” jawabku, tapi pertanyaan Samantha seringkali tidak butuh jawaban. Ia hanya basa-basi.

“Paman, aku sudah membelikan baju untuk kau kenakan di pesta kota. Tapi aku tidak menemukan dasi yang cocok, mungkin kau bisa mencarinya di Toko Tuan Daniel.”

Aku mengambil pemberiannya itu. Samantha senang mempersiapkan apapun untuk menyambut pesta kota, seperti kebanyakan orang di

sini — yang senang tampil sesempurna mungkin pada setiap perayaan. Aku yakin baju pemberiannya ini tidaklah murah, karena bahannya sangat lembut dan terlihat mewah. Tapi aku tidak ingin bertanya padanya, bahkan menebak bagaimana ia membelinya karena aku yakin ia tidak akan menjawab dengan jujur. Biarkan saja, aku ingin dia bahagia. Mengenakan baju ini salah satu caranya.

Kau lihat Maria? aku melakukannya!

“Terimakasih, Samatha. Lalu segeralah turun, aku akan buatkan sarapan untukmu.”

Semua remaja seusia Samantha, saat ini menimba ilmu dengan belajar online. Distrik Manao barang tentu berjaya memastikan seluruh warga memiliki gawai untuk menfasilitasi kebijakannya. Teknologi seketika menyapu bersih profesi para guru, buruh, banker atau profesi administratif lainnya. Di sini, semua dibuat se-efisien mungkin termasuk sumberdayanya. Hal itu membuat manusia yang berusia sudah lewat setengah abad sepertiku satu persatu kehilangan pekerjaan mereka. Tapi itu bukan berita yang buruk karena pemerintah memberikan kami pesangon yang lebih dari cukup setiap bulan. Persetan kekayaan darimana, kami yakin pemerintah kami tidak bodoh bodoh amat untuk mesiasatinya, maka kami menerimanya dengan suka cita.

Setelah mandi, aku berpamitan kepada Samantha yang sedang belajar untuk pergi ke Toko Tuan Daniel mencari dasi dan semir rambut.

Maria, rambutku mulai memutih dan aku yakin Samantha tidak akan menyukainya.

Aku memilih sepeda tua untuk mengantarkanku ke Toko Tuan Daniel yang berada dua blok dari tempat aku tinggal. Jalan sudah ramai diisi mobil dan motor yang melaju ke tempat yang sama, Mall dan Pusat Perbelanjaan. Setengah penduduk distrik Manao keluar rumah membuat jalan yang sudah sangat lebar itu menjelma parkir dadakan. Tidak seperti transportasi saat ini yang berprinsip menjemput penumpang, aku bersyukur karena lahir di jaman mendapatkan transportasi sulit karena kita harus mengejar kereta, bus atau angkutan umum lainnya yang sudah punya jadwal keberangkatan. Pengalaman itu — ditambah masih seringnya aku berolahraga pagi, membuat kakiku masih kuat untuk mengayuh sepeda tua ini.

Toko Tuan Daniel sebenernya bernama ‘Olystr’ tapi orang-orang lebih suka memanggil dengan nama pemiliknya. Pria berusia 71 tahun itu sudah dikenal seantero distrik karena menjual barang apapun yang ingin kamu cari. Salah satu yang membuat tokonya bertahan hampir setengah abad adalah karena ia menjual barang-barang yang sudah tidak dapat ditemukan lagi di distrik Manao, bahkan dimanapun itu — kami sebut mereka barang yang tergilas jaman.

Aku jadi ingat ketika pertama kali bertemu Maria di toko ini. Tuan Daniel tentu ingat betul dengan Maria, gadis yang selalu ia panggil manis yang kerap ia hadiahi sebatang lolipop gratis.

Toko Tuan Daniel tidak pernah berubah baik kebijakan penjualanan atau apapun di dalamnya. Mungkin satu-satunya toko yang masih menggunakan sistem perhitungan manual bermodal bon dan kalkulator besar yang tua. Di depan toko ia punya tiga meja kayu bundar dengan empat kursi yang mengelilinginya. Dahulu meja itu tidak pernah terisi penuh, karena pada saat itu orang-orang lebih memilih datang ke cafe dengan desain ruangan yang menarik, makanan yang artistik dan fasilitas yang ciamik, maka rasa menjadi urusan kesekian. Tuntutan pengadaan cafe yang harus sesuai dengan ekpektasi masyarakat Manao membuat semua cafe perlahan gulung tikar dan Toko Tuan Daniel — yang bahkan tidak diperuntukan sebagai Cafe menjadi satu-satunya yang bertahan

“Baru saja pagi, tapi kau sudah kehabisan gula.” timpal Tuan Daniel ketika mendapati aku masuk ke Tokonya.

“Tidak, aku hanya ingin mencari dasi yang cocok untuk aku kenakan di pesta kota nanti malam.”

Tuan Daniel tertawa, “Maria mati, dan sekarang hidupmu juga mati, Bornie.”

Aku mendengus, dia selalu senang meledekku. “apa kau punya koleksi yang bagus, Tuan Daniel?”

“Kau carilah sendiri di rak paling belakang. Sungguh, aku tidak ingin siapapun datang ke toko ku mencari barang-barang untuk…. pesta? Begitu yang kau sebut pesta?” ia meracau kemudiam

masuk ke ruangannya yang berada persis di samping meja kasir. Tak lama seorang perempuan duduk menggantikannya.

Aku bertaruh, Tuan Daniel adalah satu dari beberapa orang yang lebih memilih tidur di rumah ketimbang menghadiri pesta kota. Cocok sekali dengan Maria, karena itu aku yakin hidupnya tidak lagi lama.

Sebuah dasi kupu-kupu berwarna coklat keemasan sudah terpasang di tengah-tengah kerah kemejaku. Aku bisa melihat Samantha dari pantulan cermin, ia mengacungkan dua ibu jarinya kearahku. Aku yakin ia menyukainya.

Samantha terlihat cantik dengan gaun hitam yang membentuk tubuhnya, lalu bergelombang di bagian bawahnya. Ia tentu tahu betul bagaimana menyembunyikan tubuhnya yang kurus agar tidak terlalu terlihat kurus. Samantha mengucir kuda seluruh rambutnya, membiarkan sepasang anting berwarna merah-keemasan itu terlihat jelas menjuntai setengah dari lehernya yang jenjang. Ia cantik. Secantik Maria pada saat seusia dengannya.

Tak lama kami bergegas menuju alun-alun kota yang berjarak setengah jam jika ditempuh menggunakan mobil. Malam ini perjalanan terasa tiga kali lebih lama dari biasanya, karena seisi kota menuju titik yang sama.

Setibanya di sana, alun-alun kota sudah ramai di hiasi lampu kerlap-kerlip dengan musik yang mengalun. Makanan dan minuman melimpah ruah di setiap sudut. Di tengah sudah berbaris

meja dan kursi yang bahkan sudah setengahnya terisi. Jarum jam belum genap di angka delapan, sementara orang-orang distrik Manao tidak satupun yang ingin datang terlambat.

Samantha mengajak aku berfoto untuk membuat kenangan bersama. Aku lihat memang seperti itu yang dilakukan semua warga yang berada di sini. Itu wajar. Ya, mengabadikan moment itu manusiawi dan justru itulah yang jadi puncak perayaan pesta kota ini. Semakin bagus gambar yang tercipta, semakin lengkap sudah perayaan pesta kota.

Setelah lelah berfoto dan di rasa sudah menemukan yang terbaik diantaranya, seluruh warga kemudian sudah menempatkan posisi di bangkunya masing-masing. Mereka sibuk terdiam, tenggelam dalam gawai.

Sebuah notifikasi muncul dari gawai milikku. Aku memeriksanya dan itu adalah pemberitahuan seseorang menandai aku dalam sebuah gambar yang telah di unggah secara umum di sebuah laman — tempat perayaan sesungguhnya dimulai.

Itu Samantha! dia menggunggah potret bersamaku. Hei, lihatlah kami benar-benar terlihat bahagia di sana! Masing-masing dari kami memegang segelas Brandy seolah-olah ingin bersulang. Kemerlip lampu menambah ramai menciptakan suasana gempita dalam gambar. Sial, lagi-lagi aku harus akui kami benar-benar terlihat bahagia.

Ku baca keterangan yang mengiringi gambar tersebut — tentu saja Samantha yang menulisnya, “Aku dan Ayah menikmati pesta kota bersama. Kami berbahagia!”

Aku tersenyum setelah membacanya. Setidaknya ia ingat siapa ayahnya dalam laman citranya.

Kau lihat, Maria? kami berbahagia. Setidaknya begitulah yang ia akui sendiri.

Aku nikmati lantunan musik yang beradu dengan desir angin malam yang saat itu tidak kencang biasanya. Sepertinya semesta juga sedang ikut berpesta. Sementara setiap mulut seketika hening tanpa di perintah.

Pesta kota dalam kenyataan memang sunyi, tapi dalam maya ia ramai.

Disini aku, Samantha dan seluruh warga distrik Manao hidup hari ini. Kami berbahagia (End).

Diselesaikan pada 12 Februari 2018, namun berdebu di catatan pribadi.

--

--

No responses yet